BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Ketika para pendiri bangsa (The founding fathers)
mendesain model Negara Indonesia setelah merdeka lebih mengedepankan perdebatan
mengenai dasar Negara, bentuk Negara (kesatuan atau federal), bentuk pemerintah
(kerajaan atau republik) dan ide/cita Negara (individualistic, kolektifitas
atau totalitas integralistik) yang sedikit terkait dengan Negara hukum dan
pemerintah yang demokratis konstitusional khususnya mengenai perlu tidaknya Hak
Asasi Manusia (HAM) masuk dalam konstitusi, selain itu the founding fathers
sebagian besar terlalu disemangati oleh obsesi sebuah bangunan Negara yang
berciri khas Indonesia sehingga terlalu mengidealisasikanya prinsip
kekeluargaan, demokrasi desa, asas keserasian, keselarasan dan keseimbangan
demi politik pengintegrasian ketimbang politik pembebasan melawan absoulutisme
kekuasaan sebagai corak paham konstitusionalisme, yang akibatnya bangsa ini
tidak perna curiga terhadap kemungkinan penyalahgunaan kewenangan.
UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan di
bawahnya tidak menjamin kemandirian badan peradilan, termasuk di dalamnya
Peradilan Tata Usaha Negara sehingga wajar kalau lembaga yudikatif adalah
lembaga yang memberikan legitimasi hukum ketidakadilan pemerintah.Kondisi ini
merupakan suatu fakta hukum yang memperihatinkan bahwa keberadaan lembaga
yudikatif, khusunya Peradilan Tata Usaha Negara belum dapat membawa keadilan
bagi masyarakat dalam lingkup admnistratif pemerintah.
Didalam gugatan sering kita menjumpai muculnya
petitum uang paksa (dwangsom) yang bisa menimbulkan kekeliruan dalam
menyelesaikan sengketa apabila tidak kita telaah secara seksama.Uang paksa (Dwangsom)
pada hakikatnya hanya bisa dijatuhkan terhadap putusan pengadilan yang berupa
menghukum (condemnatoir), ada uang paksa (dwangsom) apabila ada perkara pokok
yang gugatnnya dikabulkan oleh pengadilan.Tidak ada putusan dwangsom apabila
tidak ada putusan yang pokok perkara terlebih dahulu.
Uang paksa (Dwangsom)dijatuhkan oleh hakim dengan
maksud agar putusan dalam pokok perkara dilaksanakan oleh tergugat (pihak yang
kalah). Uang paksa (Dwangsom) merupakan upaya agar tergugat bersedia
melaksanakan isi putusan, sebab putusan tersebut tidak biasa terlaksana tanpa
bantuan dari pihak lain. Uang paksa (Dwangsom) tidak diatur di dalam HIR maupun
RBg, ketentuan yang mengatur adalah dalam Rv. Pasal 606a an pasal 606n,
meskipun tidak diatur dalam hukum acara perdata tetapi dalam praktek pengadilan
uang paksa (dwangsom) sering diterapkan mengikuti kebutuhan dan perkembangan
hukum dalam praktek. Karena uang paksa (dwangsom) merupakan kebutuhan praktek
dan belum ada pengaturan secara jelas.
Oleh karena itu pelaksanaan uang paksa (dwangsom)
sebagai sanksi administratif bagi pelanggarnya ini sudah dijalankan dengan
maksimal atau belum, apakah sudah efektivkah atau belum?. Untuk menjawab
pertanyaan itu tentunya di dalam makalah inio akan dibahas seberap efektifkan
pelaksanaan uang paksa (dwangsom) dalam sanksi administrasi. Maka makalah ini
diharapkan dapat menganalis berbagai masalah yang berkaitan dengan masalah uang
paksa (dwangsom) bagi manfaat dan pengembangan ilmu hukum dalam praktik
peradilan sehari-hari.
B.
RUMUSAN
MASALAH
1. Apa
hakikat dan jenis sanksi ?
2. Bagaimana
pengenaan uang paksa (dwangsom) dalam sanksi administasi ?
3. Bagaimana
cara pembayaran uang paksa (dwangsom) ?
4. Bagaimana
penerapan uang paksa (dwangsom) dalam putusan hakim PTUN ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. KERANGKA TEORI
1.
HAKIKAT DAN JENIS SANKSI
1.1.Sanksi-sanksi
pada umumnya
Sanksi-sanksi
merupakan bagian penutup yang penting di dalam hukum, juga dalam hukum
admnistrasi. Pada umunya tidak ada gunanya memasukan kewajiban-kewajiban dan larangan-larangan bagi para warga di
dalam peraturan perundang-undangan tata usaha Negara, manakalah aturan tingkah
laku ini tidak dapat dipaksakan oleh tata usaha Negara.Peran penting pada
pemberian sanksi di dalam hukum admnistrasi memenuhi hukum pidana. Bagi pembuat
peraturan penting untuk tidak hanya melarang tindakan-tindakan yang
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dapat dikaitkan pada
suatu izin, termasuk sanksi-sanksi hukum admnistrasi yang khas, antara lain :
a. Bestuursdwang
(paksaan pemerintah)
b. Penarikan
kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin, pembayaran, subsidi)
c. Pengenaan
denda admnistrasi
d. Pengenaan
uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).
Besturrdwang
dapat diuraikan sebagai tindakan-tidakan yang nyata (feitelijke handeling) dari
penguasa guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum
administrasi atau melakukan apa yang sehrusnya ditinggalkan oleh para warga
karena bertentangan dengan Undang-Undang. Di negeri belanda, pengenaan uang
paksa oleh badan tata usaha Negara merupakan sanksi modern.Hal tersebut sebagai
suatu alternatif untuk penerapan bestuursdwang.
Adalah
penting , pertanyaan sejauh mana penerapan sanksi-sanksi oleh Tata Usaha Negara
harus senantiasa diadakan atas dasar peraturan perundang-undangan yang tegas.
Bagi pengenaan uang paksa, mutlak tanpa
syarat harus ada dasar peraturan perundang-undangan yang tegas.
Pelaksanaan
atas suatu sanksi pemrintah berlaku sebagai suatu keputusan (ketetapan) yang
memberikan beban.Hal ini membawa serta hakekat (sifat) dari sanksi.Terhadap
sanksi-sanksi administrasi bagi warga senantiasa harus dapat kemungkinan untuk
mengajukan banding pada hakim (administratif).
Sanksi
merupakan alat pemaksa,selain hukuman juga untuk menaati ketetapan yang
ditentukan dalam peraturan atau
perjanjian. Sanksi juga diartikan sebagai alat pemaksa sebagai hukuman jika
tidak taat kepada perjanjian. Menurut Philipus M. Hadjon, sanksi merupakan alat
kekuasan yang bersifat hukum publik yang digunakan oleh penguasa sebagai reaksi
terhadap ketidakpatuhan pada norma hukum admininstrasi. Dengan demikian
unsur-unsur sanksi adalah sebagai berikut :
a. Sebagai
alat kekuasaan
b. Bersifat
hukum publik
c. Digunakan
oleh penguasa
d. Sebagai
reaksi terhadap ketidakpatuhan
Sanksi-sanksi merupakan bagian penutup
yang penting dalam hukum dan tiap aturan hukum yang berlaku di Indonesia selalu
ada sanksi pada akhir aturan hukum tersebut.Pembebanan sanksi di Indonesia
tidak hanya terdapat di dalam bentuk Undang-Undang tetapi bisa dalam bentuk
peraturan lain, seperti keputusan menteri ataupun bentuk lain dibawah
Undang-Undang.Pencantuman sanksi dalam berbagai aturan hukum tersebut seperti
merupakan kewajiban yang harus dicantumkan dalam setiap aturan hukum.
Seakan-akan aturan hukum yang bersangkutan tidak bergigi atau tidak dapat
ditegakkan atau tidak akan dipatuhi jika pada bagian akhir tidak mencantumkan
sanksi. Tidak ada gunanya memberlakukan kaidah-kaidah hukum manakalah
kaidah-kaidah itu tidak dapat dipaksakan melalui sanksi dan menegakkan kaidah-kaidah
yang dimaksud secara prosedural (hukum acara).Sanksi ini selalu ada pada
aturan-aturan hukum yang dikualifikasikan sebagai aturan hukum yang memaksa.Ketidaktaatan
atau pelanggaran terhadap suatu kewajiban yang mencantum dalam aturan hukum
mengakibatkan terjadinya ketidakteraturan yang sebenarnya tidak diinginkan oleh
aturan hukum yang bersangkutan.Hal ini sesuai dengan fungsi sanksi yang dipakai
untuk penegakkan hukum terhadap ketentuan-ketentuan yang biasanya berisi suatu
larangan atau yang kewajiban.
Hakikat sanksi sebagai suatu paksaan
berdasarkan hukum, juga untuk memberikan penyadaran kepada pihak yang
melanggarnnya, bahwa suatu tindakan yang dilakukan telah tidak sesuai dengan
aturan hukum yang berlaku, juga untuk menjaga keseimbangan berjalannya suatu
aturan hukum.
2. PENGENAAN
UANG PAKSA (DWANGSOM) DALAM SANKSI ADMINISTRASI
Dalam perkara perdata sering kita jumpai istilah
dwangsom, istilah ini terasa asing bagi orang-orang yang baru mempelajari ilmu
hukum, sedangkan bagi orang yang sudah lama berkecimpung dalam praktek
peradilan istilah ini sebagai hal biasa yang dapat kita jumpai
sehari-hari.Meskipun demikian penerapan hukum terhadap dwangsom masih beragam
disebabkan oleh berbagai latar belakang profesi, sehingga pemahaman terhadap
istilah ini perlu kita kaji secara mendalam bagi pelaksanaan tugas yang lebih
baik.
Menurut N. E. Algra, “dwangsom , straf of poenalitiet, bedragdat, krachtens beding in een
verbintenis, verschulddigd is bij niet-nakoming, niet vollidige of niet-tijdige
nakoming, c.q. on derscheiden van de verggoeding van kosten, schaden en
interessen (uang paksa , sebagai hukuman atau denda, jumlahnya berdasarkan
syarat dalm perjanjian, yang harus sibayar karena tidak menuanaikan, dalam hal
ini berbeda dengan biaya ganti kerugian, kerusakan dan pembayaran bunga).Dalam
hukum administrasi, pengenaan uang paksa ini dapat dikenakan kepada seseorang
atau warga Negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang ditetapkan
oleh pemerintah sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintah. Dalam Undang-Undang
administrasi belanda disebutkan sebagai berikut :
Terjemahan kedalam bahasa Indonesia :
“organ
pemerintah yang berwenang melaksankan tindakan pemerintah, dapat mengenakan
uang paksa sebagai pengganti (dari bestuursdwang). Uang paksa tidak dapat
dipilih (sebagai pengganti), jika kepentingan yang harus dilindungi pertauran
tersebut tidak menghendakinya.”
“organ
pemerintah menetapkan uang paksa itu apakah sekali bayar ataupun dicicil
berdasarkan waktu (tetentu) ketika perintah itu tidak dijalankan atau
(membayar) sejumlah uang ketika pelanggaran itu (terjadi). Organ pemerintah
juga menetapkan jumlah maksimal uang paksa.Jumlah uang yang dibayar harus
sesuai dengan beratnya kepentingan yang dilanggar dan sesuai dengan tujuan
diterapkannya penetapan uang paksa itu.”
“Dalam keputusan
untuk penetapan uang paksa yang tujuannya menghilangkan atau mengakhiri pelanggran,
kepada pelanggar diberikan jangka waktu untuk melaksanakan perintah tersebut
(dengan) tanpa penyitaan uang paksa.”
Pengenaan uang paksa merupakan alternatif untuk
tindakan nyata, yang berarti sebagai sanksi “subsidiaire”
dan dianggap sebagai sanksi repartoir. Persoalan hukum yang dihadapai dalam
pengenaan dwangsom sama dengan pelaksanaan paksaan nyata. Dalam kaitannya
dengan KTUN yang menguntungkan seperti izin, biasanya pemohon izin diisyaratkan
untuk memberikan uang jaminan.Jika terjadi pelanggaran atau pelanggar (pemegang
izin) tidak segera mengakhirinya, uang jaminan itu dipotong sebagai
dwangsom.Uang jaminanini lebih banyak digunakan ketika pelaksanaan
bestuursdwang sulit dilakukan.
2.1.Uang
paksa (dwangsom) dalam hukum acara perdata
Dwangsom
berasal dari bahasa Belanda yang berarti uang paksa. Penerapan dwangsom (uang
paksa) dalam hukum acara perdata berkaitan dengan amar putusan yang mesti
dilaksanakan oleh pihak yang kalah dalam sengketa perdata terhadap putusan yang
sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Pasal
606a Rv.menentukan: Sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk
sesuatu yang lain dari pada pembayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan,bahwa
sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya
harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim,
dan uang tersebut dinamakan uang paksa. Penerapan dwangsom dalam praktek tidak
semudah seperti dalam bayangan.Tidak sedikit dalam gugatan perkara perdata
pihak penggugat dalam gugatan konpensi atau tergugat/penggugat rekonpensi dalam
gugatan rekonpensi juga mengajukan permohonan dwangsom.Dwangsom (uang paksa)
pada hakekatnya hanya bisa dijatuhkan oleh Hakim apabila amar putusan tersebut
berhubungan dengan perbuatan tertentu yang hanya bisa dilakukan oleh tergugat.
Tanpa perbuatan tergugat maka putusan
tersebut tidak akan bisa dilaksanakan. Kita bisa menganalisis bahwa dalam
dwangsom (uang paksa) ada kata paksa,
berarti ada suatu perbuatan yang dipaksa
mesti dilakukan oleh pihak yang kalah (tergugat) dan apabila pihak yang
kalah tidak bersedia melakukan amar putusan maka diancam dengan membayar
sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan Hakim.
Dwangsom
berkaitan dengan perbuatan tertentu yang hanya bisa dilaksanakan oleh orang
tertentu (Tergugat). Misalnya ada perajin arca dari batu di daerah tertentu yang ahli membuat arca
Arjuna. Yang bisa membuat arca Arjuna sesuai dengan perjanjian yang disepakati
antara Penggugat dan Mr. X (Tergugat),
maka apabila Mr. X tidak bersedia
membuat arca sebagaimana yang sudah disepakati dan diputus oleh Hakim
maka Mr. X tersebut dihukum untuk
membayar yang paksa (dwangsom). Jumlah uang paksa yang harus dibayar oleh
tergugat tergantung putusan Majelis Hakim dan biasanya dijatuhkan dengan
menggunakan nilai tertentu (nilai uang
rupiah) diperhitungkan dan ditentukan
tiap harinya apabila tidak melaksanakan
amar putusan tersebut. P.A.Stein memberikan pengertian tentang dwangsom sebagai
berikut: uang paksa adalah sejumlah uang yang ditetapkan di dalam putusan,
hukuman mana diserahkan kepada penggugat, di dalam hal, sepanjang atau
sewaktu-waktu si terhukum tidak melaksanakan hukuman. Dwangsom ditetapkan di
dalam suatu jumlah uang, baik berupa sejumlah uang sekaligus, maupun setiap
suatu jangka waktu atau setiap pelanggaran. (Harifin A. Tumpa, 2010: 18).
2.2. Uang
paksa (dwangsom) tidak berlaku dalam perjanjian hutang piutang
Dalam perkara perdata gugatan di pengadilan sering
kita jumpai Penggugat dalam surat gugatannya mengajukan petitum yang
memuat (permohonan) agar tergugat
dihukum untuk membayar dwangsom, padahal
pokok gugatan adalah sengketa hutang
piutang. Kita ketahui bersama bahwa perjanjian hutang piutang adalah berkaitan
dengan masalah pembayaran sejumlah uang. Apabila salah satu pihak ingkar janji (wanprestasi) maka yang bersangkutan dihukum untuk membayar
pokok hutangnya, biaya, ganti kerugian dan bunga. Umpama dalam suatu kasus ada perjanjian pinjam
meminjam uang antara penggugat (kreditur) dengan tergugat (debitur) senilai Rp.
240.000.000,- (dua ratus empat puluh juta rupiah), jatuh tempo pembayaran selama dua tahun,
bunga 2% perbulan. Dalam kasus demikian maka apabila Hakim mengabulkan gugatan penggugat dengan
alasan adanya wanprestasi dari tergugat, maka Hakim dapat memerintahkan agar tergugat dihukum membayar utang pokok
sebesar Rp. 240 juta, maka dalam kasus
demikian tergugat tidak bisa dihukum untuk membayar dwangsom. Mengapa hal demikian terjadi? Untuk
itu kita perlu meneliti kembali dalam
Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), khususnya dalam Buku
Ketiga tentang Perikatan. Pasal 1236 KUHPerdata menentukan Si berutang adalah
wajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang, apabila ia
telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya,
atau telah tidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya.Pasal 1236 BW
tersebut menentukan bahwa bagi siapa yang tidak melaksanakan kewajibannya
(wanprestasi) maka dihukum untuk memberikan ganti biaya, ganti rugi dan bunga.
Maka apabila ada subyek hukum yang melakukan wanprestasi yang berkaitan dengan
pembayaran sejumlah uang dan ancamannya dengan menggunakan pasal 1236 BW di
muka.Mengapa hal demikian terjadi? Hal tersebut terjadi disebabkan putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum
tetap sesuai dengan hukum acara perdata maka pelaksanaannya bisa dilakukan
dengan upaya paksa, kalau perlu dengan bantuan polisi. Hal demikian
berkaitan dengan sita jaminan
(conservatoir beslag), sita jaminan
dimaksudkan agar apabila tergugat tidak bersedia melaksanakan isi putusan maka
ada jaminan bagi terlaksananya isi putusan bagi pihak yang menang dalam kasus
tertentu. Eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah dengan pelaksanaaan lelang
atas barang yang telah diletakkan sita eksekusi oleh KPN untuk dijual kepada
umum melalui Kantor Lelang, hasil lelang
diserahkan kepada Penggugat. Apabila ada uang sisa dari hasil lelang
tersebut maka akan dikembalikan kepada tergugat
Selanjutnya
mengapa terhadap perjanjian hutang piutang tidak bisa dijatuhkan dwangsom?Hal
ini terjadi disebabkan apabila tergugat tidak mau melaksanakan pembayaran atau
tidak bersedia melaksanakan isi putusan maka tergugat bisa diancam dengan
putusan tentang ganti kerugian, biaya dan bunga. Ganti rugi, biaya dan bunga
ini akan diperhitungkan dengan harta yang telah dilelang oleh Pengadilan
Negeri. Hal di muka sesuai dengan Jurisprudensi Mahkamah Agung R.I. No.
792/Sip/1972 tanggal 26-2-1973 yang menentukan bahwa uang paksa (dwangsom)
tidak berlaku terhadap tindakan membayar uang. Hal ini sesuai pula dengan Putusan Mahkamah Agung Nomor 2331K/Pdt/2008
tanggal 23 Juli 2009.
2.3. Uang
paksa (dwangsom) tidak berlaku bagi sengketa perbuatan melawan hukum
Sengketa
atas dasar perbuatan melawan hukum (PMH) sering terjadi dalam praktek peradilan
seiiring dengan perkembangan hubungan hukum
antar subyek hukum. PMH terjadi karena adanya perbuatan yang dilakukan
oleh subyek hukum tertentu sehingga menimbulkan kerugian kepada pihak lain. Di dalam PMH ada perbuatan yang
dianggap salah atau lalai sehingga menimbulkan kerugian pada subyek hukum lain.
Dalam PMH antara subyek hukum yang satu dengan yang lainnya sebelumnya biasanya
tidak ada hubungan hukum, muncul hubungan hukum karena adanya kejadian yang
tidak diinginkan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak. Misalnya
ada subyek hukum yang tanpa sengaja membangun rumah ternyata memasuki tanah
subyek hukum yang lain.
Pasal 1367 BW yang
menentukan
Setiap orang tidak saja bertanggung
jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau
disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
Orang tua dan wali bertanggung
jawab tentang kerugian, yang disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang
tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua
atau wali.
Majikan-majikan
mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka,
adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan
atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan untuk mana orang-orang ini dipakainya.
Guru-guru sekolah dan kepala-kepala
tukang bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan
tukang-tukang mereka selama waktu orang-orang ini berada di bawah pengawasan
mereka.
Tanggung
jawab yang disebutkan di atas berakhir, jika orang tua-orang tua, wali-wali,
guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak
dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab.
PMH
dengan jelas kita jumpai di dalam Pasal
1365 Kitab Unda-undang Hukum Perdata ditentukan:
Tiap perbuatan melanggar hukum,
yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena
salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.
Pasal
1365 BW di muka menunjukkan bahwa hubungan hukum antara dua subyek hukum atau
lebih tidak diperjanjikan, tetapi muncul setelah ada perbuatan yang menimbulkan
kerugian kepada orang lain. Di dalam pasal di muka mengatur tentang kewajiban
pembayaran ganti kerugian apabila ada kesalahan.
Selanjutnya Pasal 1366
BW menentukan:
Setiap orang bertanggung jawab
tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk
kerugian yang disebabkan kelalaiannya atau kurang hati-hatinya.
Terhadap
pelaksanaan pembayaran ganti kerugian tersebut tidak bisa dikenakan dengan uang
paksa (dwangsom), sebab pasal di muka hemat penulis berkaitan dengan masalah
perikatan, yang dapat dilakukan penuntutan dengan upaya sita jaminan
dan/atau eksekusi pelelangan terhadap
harta tergugat. Sita jaminan ditujukan pada harta bergerak dari tergugat
apabila tidak ada atau tidak cukup baru terhadap harta yang tidak bergerak.
Dalam
praktek perkara perdata gugatan sering kita lihat Penggugat mengajukan petitum dwangsom tanpa melihat jenis gugatan
yang diajukan. Dalil dalam gugatan hutang piutang dalam petitum dimohonkan
dwangsom, bahkan dalam perkara perdata gugatan tentang PMH, warisan dan
sebagainya. Hal demikian sepenuhnya hak dari Penggugat, maka perlu kecermatan
dari kita agar tidak salah dalam
menerapkan putusan masalah dwangsom.
Sebagaimana
telah dibahas di muka bahwa dwangsom hanya dapat diputuskan terhadap suatu
penghukuman untuk melaksanakan perbuatan tertentu, oleh pihak tertentu (pihak
yang kalah) dengan ancaman membayar sejumlah uang apabila tidak
dilaksanakan.Perbuatan tertentu ini hanya bisa dilakukan oleh orang tertentu,
biasanya orang yang ahli (expert) dengan hasil barang tertentu yang diperjanjikan
antara penggugat dan tergugat.Sehingga dalam perkara pengosongan rumah,
pembayaran sejumlah uang tidak bisa dijatuhkan dwangsom, sebab perbuatan
tersebut bisa dilaksanakan tanpa bantuan pihak tergugat. Beda dengan dwangsom,
tergugat dipaksa dengan apapun apabila tergugat tidak bersedia melaksanakan,
maka hasil dari kesepakatan antara penggugat dan tergugat juga tidak akan ada.
Maka sebagai uang paksa menjadi pilihan yang tepat agar tergugat bersedia melaksanakan
isi putusan tersebut.
3. UANG
PAKSA DAN CARA EMBAYARANNYA
Pelaksanakan
pembayaran uang paksa agar dapat berjalan secara efektif memerlukan kerjasama
antara MA, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan baik dalam bentuk Surat
Keputusan Bersama atau bentuk lainnya karena mekanisme pembayarannya memerlukan
kerjasama antar instansi tersebut. Menurut Penulis, mekanisme pelaksanaan
pembayaran uang paksa adalah berikut :
a. Setelah
3 bulan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap
tidak ditaati oleh Tergugat (Pejabat Tata Usaha Negara), maka Penggugat dapat
mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara agar Pejabat
yang bersangkutan melaksanakan isi Putusan Pengadilan (pasal 116 ayat (3) UU
Nomor 9 Tahun 2004).
b. Ketua
Pengadilan Tata Usaha Negara menerbitkan Penetapan yang berisi perintah kepada
Tergugat untuk melaksanakan isi Putusan Pengadilan dengan disertai limit waktu
(batas waktu) untuk melaksanakannya, missal dalam waktu 7 hari setelah
penetapan diterbitkan.
c. Penetapan
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut dengan disertai salinan Putusan
Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dikirimkan oleh jurusita kepada
Tergugat, dan salinannya ditembuskan kepada atasan Tergugat, bendaharawan rutin
instansi Tergugat dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) setempat.
d. Segera
setelah menerima Penetapan Ketua Pengadilan tentang besamya uang paksa dan
lampiran Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tersebut, Bendaharawan
rutin mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) gaji Tergugat yang telah
disesuaikan dengan besarnya uang paksa yang dibebankan kepada Pejabat
(Tergugat) yang bersangkutan untuk permintaan gaji bulan berikutnya.
e. KPKN
menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) yang ditujukan kepada Penggugat
melalui Pengadilan Tata Usaha Negara setempat.
f.
Dengan SPM tersebut Jurusita Pengadilan
Tata Usaha Negara setempat mencairkan uang paksa pada Bank yang telah ditunjuk.
7. Selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari setelah uang dicairkan, Jurisita sudah
harus menyerahkan pembayaran uang paksa tersebut kepada Penggugat atau ahli
warisnya.
4. PENERAPAN
UANG PAKSA DALAM PUTUSAN PERADILAN HAKIM TATA USAHA NEGARA (PTUN)
Suatu
perkembangan baru, adalah bahwa pembuat undang-undang memberi alternative
kepada badan yang berwenang melakukan bestuursdwang untuk mengenakan uang paksa
pada yang berkepntingan sebagai pengganti bestuursdwang, uang akan hilang untuk
tiap kali suatu pelanggaran diulangi atau untuk tiap hari ia (sesudah waktu yang ditetapkan) masih
berlanjut. Uang paksa terutama dimaksudkan untuk keadaan-keadaan yang
terhadapnya bestuursdwang secara praktis sulit dijalankan atau akan berlaku
sebagai suatu sanksi yang terlalu berat. Pada masa yang akan dating ,
undang-undang dalam semua hal akan mengaitkan upaya alternative ini pada
kewenangan bestuursdwang.
Dari
yurisprudensi pertama ternyata bahwa hakim (tata usaha Negara) pada siapa dapat
diajukan banding terhadap keputusan pengenaan uang paksa terhadap penggunaan
upaya (banding) ini, menetapkan batas-batas yang tegas guna menghalangi
penyalahgunaan dana sikap penggempangan para pihak tata usaha Negara.
4.1.Factor-faktor
penyebab tidak dipatuhinya putusan hakim PTUN berupa uang paksa.
Kalangan
Peradilan Tata Usaha Negara seharusnya tidak buru-buru secara sepihak
menyalahkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak mematuhi / melaksanakan
putusan PTUN tersebut.Karena sebenarnya ada beberapa faktor yang menjadikan
Putusan Hakim PTUN tidak dipatuhi.
Setidaknya ada tiga
faktor penyebab tidak dpatuhinya putusan peradilan TUN, yaitu :
a. Lemah/
tidak berkualitas putusan Hakim Peratun itu sendiri.
b. Tingkat
kesadaran hukum Badan/ Pejabat TUN dan adanya kepentingan para Badan/ Pejabat
TUN terhadap produk keputusan TUN yang disengketakan.
c. Ketiadaan
lembaga paksa dalam peratun perundang-undangan Peratun yang mengatur tentang
eksekusi.
4.2.Perbedaan
uang paksa (dwangsom) dang ganti rugi
Ganti
rugi dan dwangsom meskipun sama-sama menyangkut pembayaran sejumlah uang,
tetapi merupakan dua hal yang berbeda.
Ganti rugi dalam UU No.
5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam pasal 53 ayat (1)
dan Pasal 97 ayat (10). Sementara itu uang paksa (dwangsom) tidak diatur dalam
undang-undang tersebut.
Ganti
rugi adalah merupakan jenis hukuman pokok yang dibebankan kepada pihak yang
terbukti melakukan perbuatan hukum (onrechmatige) atau melakukan ingkar janji
(wanprestasi).Dan beban pembayaran tersebut apabila telah diputuskan dalam amar
putusan hakim, maka jumlah tersebut harus dipenuhi oleh si Terhukum.
Dwangsom adalah
sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim dalam amar putusan yang dibebankan
kepada tergugat dan diberlakukan apabila tergugat tidak melaksanakan hukuman
yang ditetapkan.
Jadi,
dwangsom ia bukan termasuk hukum pokok, karena meskipun telah ditetapkan
sejumlah uang paksa dalam amar putusan, maka pihak yang kalah tadi tidak perlu
membayarnya/ dibebani pembayaran uang paksa tersebut apabila ia telah dengan
sadar/ rela mematuhi isi amar putusan. Kewajiban dwangsom harus dipenuhi/
dibayar manakala pihak yang kalah tadi tidak mematuhi isi putusan (yang
bersifat condemnatoir).Inilah perbedaan utama Ganti Rugi dan dwangsom.
Dwangsom
sifatnya adalah assesoir, artinya hukuman tambahan sebagai penjaga dan bisa
sekaligus sebagai pemaksa agar putusan hakim dipatuhi/ dilaksanakan.Jadi uang
paksa adalah merupakan suatu alat eksekusi secara tidak langsung.
4.3.Menerapkan
uang paksa (dwangsom) di peradilan TUN
Seperti
halnya penerapan dwangsom dalam putusan Hakim Peradilan Umum, maka tidak semua
putusan Hakim Peratun dapat diterapkan dwangsom.Hanya putusan yang berisi
penghukuman / kewajiban melakukan tindakan tertentu kepada pihak yang kalah
(Putusan condemnatoir), yang dapat dikenai/ diterapkan dwangsom.Jadi untuk
putusan yang sifatnya declatoir (yang bersifat menerangkan) dan constitutief
(putusan yang bersifat meniadakan atau menimbulkan keadaan hukum yang baru,
tidak dapat dikenai/ diterapkan dwangsom.
Dalam konteks
Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Putusan
yang bersifat condemnatoir adalah berupa :
a. kewajiban
mencabut keputusan TUN yang dinyatakan batal/ tidak sah.
b. kewajiban
menerbitkan keputusan TUN pengganti/ baru.
c. kewajiban
mencabut dan menerbitkan keputusan TUN baru
d. kewajiban
membayar ganti rugi, dan
e. kewajiban
melaksanakan rehabilitasi, dalam sengketa kepegawaian.
Dwangsom
baru diterapkan apabila pejabat yang dihukum untuk melakukan tindakan tertentu
berdasarkan putusan hakim, ia tidak mematuhinya . Jadi dwangsom diterapkan
(dipaksakan) kepada pejabat apabila ia melawan putusan hakim.
Ketika
hakim menerbitkan suatu putusan, pada hakikatnya ia adalah berperan sebagai
pseudo legislator (badan pembuat undang-undang semu), karenanya produk hakim
(majelis Hakim) adalah suatu produk hukum yang setingkat dengan
perundang-undangan. Oleh karenanya pada saat Pejabat TUN tidak mematuhi putusan
hakim, maka ketidak patuhan tadi adalah dikategorikan pelanggaran hukum/
perundang-undangan.Dan pelanggaran yang dilakukan pejabat tadi sifatnya adalah
pelanggaran/ kesalahan pribadi (faute personelle), sehingga membawa konsekuensi
pertanggungjawabannya juga harus secara pribadi (personal liability) dari orang
yang sedang menjabat tersebut dan bukan kelembagaan atau negara. Hal mana adalah
sejalan dengan teori “kesalahan” yang
dikembangkan dari Yurisprudensi Conseil d’Etat yang pada pokoknya membedakan
antara “kesalahan dinas” (faute de
serve) dan “kesalahan pribadi” (faute
personnelle). Lihatlah Paulus Effendie Lotulung, Prof. DR. SH. Beberapa System
Tentang Control Segi Hukum Terhadap Pemerintahan, PT. Bhuana Ilmu Populer,
Jakarta, 1986. hal. 15).
Oleh
karena itu adalah tepat apabila seorang pejabat tidak mematuhi/ melaksanakan
putusan hakim peratun, maka pembebanan uang paksa (dwangsom/ astreinte) harus
dibebankan / dibayar dari uang pribadi orang yang sedang menjabat/ pejabat saat
itu.Sungguh tidak adil apabila orang yang sedang menjabat/ Pejabat saat
itu.Sungguh tidak adil apabila pelanggaran hukum yang sifatnya pribadi tersebut
akibatnya (berupa pembayaran dwangsom) dibebankan kepada Negara. Hal ini
tentunya sangat berbeda dengan ketika ia sebagai pejabat dalam melaksanakan
tugas yang meskipun telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan ternyata
dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Dalam keadaaan seperti ini, maka
kerugian yang diderita masyarakat tersebut harus menjadi tanggung jawab Negara
untuk mengganti ruginya,
B.
ANALISIS
Setidaknya
ada dua lembaga paksa yang telah dikenal dalam sistem hukum civil law, yakni
sandera (gijzeling) dan uang paksa (dwangsom).
Berdasarkan asas konkordansi, dalam praktek
peradilan perdata di Indonesia kedua lembaga paksa tersebut juga dikenal.
Tetapi nampaknya dwangsom lebih “beruntung”,
karena dalam praktek pemberlakuannya oleh Hakim perdata di Indonesia hampir
tidak ada masalah, akan tetapi dengan saudaranya si gijzeling dengan alasan
melanggar hak azasi manusia (alasan kemanusian), oleh Mahkamah Agung mulai
tahun 1964 lembaga tersebut dibekukan, artinya tidak diberlakukan dalam pratek
melalui SEMA No. 2/ 1964, tertanggal 22 Januari 1964 juncto SEMA No. 04/ 1975
tertanggal 1 Desember 1975 Mahkamah Agung berpendapat, bahwa sandera
bertentangan dengan salah satu sila Peri kemanusian dari Pancasila sebagai
dasar falsafah Negara Indonesia.
Meng-gijzeling
Pejabat dalam sengketa Tata Usaha Negara untuk kultur Indonesia nampaknya belum
memungkinkan, disamping memang hal itu tentunya akan sangat mengganggu
tugas-tugas pelayanan publik yang dia emban. Oleh karenanya penulis memandang,
lembaga paksa dwangsom (uang paksa) adalah pilihan yang tepat untuk diterapkan.
Dasar
pemberlakuan/ penerapan lembaga dwangsom (uang paksa) dalam praktek peradilan
di Indonesia adalah mengacu pada Pasal 606 a dan Pasal 606 b Rv.
Pasal
606 a. Rv :
“sepanjang suatu putusan hakim
mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada membayar sejumlah uang,
maka dapat ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak mematuhi
hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya
ditetapkan dalam putusan hakim dan uang tersebut dinamakan uang paksa”.
Pasal
606 b Rv :
“ bila putusan tersebut tidak
dipenuhi, maka pihak lawan dari terhukum berwenang untuk melaksanakan putusan
terhadap sejumlah uang paksa yang telah ditentukan tanpa terlebih dahulu
memperoleh alas hak baru menurut hukum.
Dari
bunyi pasal 606 a dan b Rv. tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa uang
paksa adalah bersifat :
a. Assesoir,
artinya keberadaan uang paksa tergantung kepada hukuman pokok. Jadi suatu
dwangsom tidak mungkin ada apabila dalam suatu putusan tidak ada hukuman pokok.
b. pressie middle,
artinya suatu upaya (secara psikologis), agar terhukum mau mematuhi atau
melaksanakan hukuman pokok. Jadi uang paksa adalah merupakan suatu alat
eksekusi secara tidak langsung.
Penulis
melihat,karena yang dihukum untuk melaksanakan putusan Peratun adalah selalu
Badan/ Pejabat TUN yang masih aktif, tentunya ia mendapatkan gaji setiap
bulannya. Oleh karenanya apabila pejabat tersebut membandel untuk melaksanakan
amar putusan, maka dwangsom adalah tepat diambil/ dipotongkan dari gaji bulanan
pejabat yang bersangkutan. Dan perintah pemotongan gaji diperintahkan kepada
Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) atau Pejabat lain yang berwenang
semacam itu, selanjutnya uang dwangsom tersebut diserahkan kepada Penggugat.
Pemotongan ini terus berlanjut sampai dengan dipatuhinya amar putusan.
Oleh karena itu di dalam pengenaan sanksi
admnistratif berupa uang paksa (dwangsom) adalah suatu yang tepat dilakukan
agar para pelanggar peraturan yang telah disebutkan diatas bisa memnuhi
aturannya dan juga paksaan atas uang paksa itu harus dilakukan dengan tegas dan
tentunya dilakukan dengan sungguh-sungguh, jangan hanya sebatas peraturan
tetapi penerapnnya dan pelaksanaannya terhadap pelangggarnya sangat minim.Karena
peraturan dibuat untuk dilaksankan sebagai sanksi terhadap pelanggaranya dan
untuk dipatuhi oleh semua kalangan yang dicakup oleh peraturan itu.
BAB
III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1. Dwangsom
hanya bisa diterapkan terhadap perintah melakanakan perbuatan tertentu yang
dilakukan oleh orang tertentu dan tidak bisa diganti/diwakili orang lain.
2. Penerapan
dwangsom tidak dapat diterapkan pada semua putusan PTUN. Penerapan dwangsom hanya
dapat dibebankan pada putusan PTUN yang bersifat penghukuman (putusan
condemnator).
3. Penerapan
lemabaga Upaya Paksa di Peradilan Tata Usaha Negara diharapkan dapat
menimbulkan dampak psikologis kepada Badan/PejabatTata Usaha Negara untuk
melaksanakan Putusan Pengadilan serta meningkatkan kepercayaan masyarakat
terhadap eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara
4. Hanya
Putusan yang sifatnya berisi pemberian beban atau kewajiban untuk melakukan
tindakan tertentu kepada Tergugat saja yang dapat dikenakan Upaya Paksa.
5. Beban
pembayaran uang paksa sebaiknya dibebankan kepada Badan/PejabatTata Usaha
Negara secara pribadi karena perbuatan tidak mau melaksanakan putusan
Pengadilan tersebut tergolong dalam kesalahan pribadi bukan kesalahan dinas.
6. Dalam
pemeriksaan Persiapan sebaiknya dinasehatkan kepada Penggugat agar tidak
mencantumkan Petitum Upaya paksa karena belum ada peraturan pelaksanaannya,
akan tetapi apabila Penggugat tetap mencantumkan Upaya Paksa dalam gugatannya
maka Hakim sebaiknya memutuskan hal tersebut sesuai dengan pasal 16 ayat (1) UU
Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
7. Efektivitas
uang paksa (dwangsom) sebagai sanksi administrasi belum terlaksana secara
maksimal, karena masih banyak yang melanggar peraturannya dan penerapan
sanksinyapun kurang tegas oleh pemerintah pelaksananya.
B. SARAN
Kaitannya dengan
pembahasan dalam makalah ini, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :
1. Perlunya
penerapan prinsip good governance sehingga pelaksanaan pemerintah akan lebih
transparan, berpihak pada demokrasi dan kemakmuran rakyat. Dan konflik-konflik
mengenai sengketa dan permasalahan di pengadilan tata usaha Negara, bisa lebih
berkurang. Jika sudah diputus oleh pengadilan TUN, maka pelaksanaanya lebih
mudah ditaati dan terselesaikan dengan kepastian hukum yang konkrit.
2. Bagi
pelaksana putusan dan eksekusi untuk menerapkan peraturan dan sanksi kepada
pelanggar peraturan, terutama pengenaan sanksi administrasi berupa uang paksa
dengan sungguh-sungguh, dengan tegas dan dilakukan secara maksmimal.
3. Bagi
para pelanggar sanksi administrasi agar tetap mematuhi peraturan dan ketentuan
yang telah dibuat oleh pemerintah dengan baik. Baik itu dalam segi sanksinya
maupun dalam bentuk peraturannya.
4. Terakhir
saya sebagai penulis makalah ini menyampaikan apabila dalam penulisan dan
pembuatan di makalah ini, terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, mohon
dimaafkan dan diberikan saran.
DAFTAR PUSTAKA
1. Dr.
Habib Adjie, S.H., M. Hum. Sanksi perdata
administrasi terhadap notaris sebagai pejabat publik. PT. Reflika Aditama.
Bandung. 2008.
2. Philipus
M. Hadjon, dkk. Pengantar hukum
admnistrasi Indonesia (introduction the Indonesian administrative law).
Gadja Mada University press. Yogyakarta. 2005
3. Harifin
A. Tumpa. Memahami eksistensi uang paksa
(dwangsom) dan implementasinya di Indonesia. Kencana Prenada Media Group.
Jakarta. 2010
4. Abdul
kadir Muhammad. Hukum acara perdata
Indonesia. PT. Citra aditya bakti. Bandung. 2000.
5. Lilik
Mulyadi, SH, MH. Tuntutan uang paksa (dwangsom)
dalam teori dan praktik. Djambatan. Jakarta. 2001.
6. Zairin
Harahap. Hukum acara peradilan tata usaha
Negara. PT. Raja grafindo persada. Yogyakarta. 1997
7. Bambang
Sugiono, SH.,MHum., Penerapan Upaya Paksa
Dalam Pelaksanaan Putusan PTUN, Makalah Workshop, Jakarta, 28 Agustus 2004.
Tiada ulasan:
Catat Ulasan
berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.