Rabu, 22 Januari 2014

efektivitas uang paksa dalam sanksi administrasi negara


BAB I
PENDAHULUAN
A.     LATAR BELAKANG
Ketika para pendiri bangsa (The founding fathers) mendesain model Negara Indonesia setelah merdeka lebih mengedepankan perdebatan mengenai dasar Negara, bentuk Negara (kesatuan atau federal), bentuk pemerintah (kerajaan atau republik) dan ide/cita Negara (individualistic, kolektifitas atau totalitas integralistik) yang sedikit terkait dengan Negara hukum dan pemerintah yang demokratis konstitusional khususnya mengenai perlu tidaknya Hak Asasi Manusia (HAM) masuk dalam konstitusi, selain itu the founding fathers sebagian besar terlalu disemangati oleh obsesi sebuah bangunan Negara yang berciri khas Indonesia sehingga terlalu mengidealisasikanya prinsip kekeluargaan, demokrasi desa, asas keserasian, keselarasan dan keseimbangan demi politik pengintegrasian ketimbang politik pembebasan melawan absoulutisme kekuasaan sebagai corak paham konstitusionalisme, yang akibatnya bangsa ini tidak perna curiga terhadap kemungkinan penyalahgunaan kewenangan.
UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan di bawahnya tidak menjamin kemandirian badan peradilan, termasuk di dalamnya Peradilan Tata Usaha Negara sehingga wajar kalau lembaga yudikatif adalah lembaga yang memberikan legitimasi hukum ketidakadilan pemerintah.Kondisi ini merupakan suatu fakta hukum yang memperihatinkan bahwa keberadaan lembaga yudikatif, khusunya Peradilan Tata Usaha Negara belum dapat membawa keadilan bagi masyarakat dalam lingkup admnistratif pemerintah.
Didalam gugatan sering kita menjumpai muculnya petitum uang paksa (dwangsom) yang bisa menimbulkan kekeliruan dalam menyelesaikan sengketa apabila tidak kita telaah secara seksama.Uang paksa (Dwangsom) pada hakikatnya hanya bisa dijatuhkan terhadap putusan pengadilan yang berupa menghukum (condemnatoir), ada uang paksa (dwangsom) apabila ada perkara pokok yang gugatnnya dikabulkan oleh pengadilan.Tidak ada putusan dwangsom apabila tidak ada putusan yang pokok perkara terlebih dahulu.
Uang paksa (Dwangsom)dijatuhkan oleh hakim dengan maksud agar putusan dalam pokok perkara dilaksanakan oleh tergugat (pihak yang kalah). Uang paksa (Dwangsom) merupakan upaya agar tergugat bersedia melaksanakan isi putusan, sebab putusan tersebut tidak biasa terlaksana tanpa bantuan dari pihak lain. Uang paksa (Dwangsom) tidak diatur di dalam HIR maupun RBg, ketentuan yang mengatur adalah dalam Rv. Pasal 606a an pasal 606n, meskipun tidak diatur dalam hukum acara perdata tetapi dalam praktek pengadilan uang paksa (dwangsom) sering diterapkan mengikuti kebutuhan dan perkembangan hukum dalam praktek. Karena uang paksa (dwangsom) merupakan kebutuhan praktek dan belum ada pengaturan secara jelas.
Oleh karena itu pelaksanaan uang paksa (dwangsom) sebagai sanksi administratif bagi pelanggarnya ini sudah dijalankan dengan maksimal atau belum, apakah sudah efektivkah atau belum?. Untuk menjawab pertanyaan itu tentunya di dalam makalah inio akan dibahas seberap efektifkan pelaksanaan uang paksa (dwangsom) dalam sanksi administrasi. Maka makalah ini diharapkan dapat menganalis berbagai masalah yang berkaitan dengan masalah uang paksa (dwangsom) bagi manfaat dan pengembangan ilmu hukum dalam praktik peradilan sehari-hari.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa hakikat dan jenis sanksi ?
2.      Bagaimana pengenaan uang paksa (dwangsom) dalam sanksi administasi ?
3.      Bagaimana cara pembayaran uang paksa (dwangsom) ?
4.      Bagaimana penerapan uang paksa (dwangsom) dalam putusan hakim PTUN ?






BAB II
PEMBAHASAN
A.     KERANGKA TEORI

1.      HAKIKAT DAN JENIS SANKSI
1.1.Sanksi-sanksi pada umumnya
Sanksi-sanksi merupakan bagian penutup yang penting di dalam hukum, juga dalam hukum admnistrasi. Pada umunya tidak ada gunanya memasukan kewajiban-kewajiban  dan larangan-larangan bagi para warga di dalam peraturan perundang-undangan tata usaha Negara, manakalah aturan tingkah laku ini tidak dapat dipaksakan oleh tata usaha Negara.Peran penting pada pemberian sanksi di dalam hukum admnistrasi memenuhi hukum pidana. Bagi pembuat peraturan penting untuk tidak hanya melarang tindakan-tindakan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang dapat dikaitkan pada suatu izin, termasuk sanksi-sanksi hukum admnistrasi yang khas, antara lain :
a.       Bestuursdwang (paksaan pemerintah)
b.      Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan (izin, pembayaran, subsidi)
c.       Pengenaan denda admnistrasi
d.      Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).
Besturrdwang dapat diuraikan sebagai tindakan-tidakan yang nyata (feitelijke handeling) dari penguasa guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum administrasi atau melakukan apa yang sehrusnya ditinggalkan oleh para warga karena bertentangan dengan Undang-Undang. Di negeri belanda, pengenaan uang paksa oleh badan tata usaha Negara merupakan sanksi modern.Hal tersebut sebagai suatu alternatif untuk penerapan bestuursdwang.
Adalah penting , pertanyaan sejauh mana penerapan sanksi-sanksi oleh Tata Usaha Negara harus senantiasa diadakan atas dasar peraturan perundang-undangan yang tegas. Bagi pengenaan uang paksa,  mutlak tanpa syarat harus ada dasar peraturan perundang-undangan yang tegas.
Pelaksanaan atas suatu sanksi pemrintah berlaku sebagai suatu keputusan (ketetapan) yang memberikan beban.Hal ini membawa serta hakekat (sifat) dari sanksi.Terhadap sanksi-sanksi administrasi bagi warga senantiasa harus dapat kemungkinan untuk mengajukan banding pada hakim (administratif).
Sanksi merupakan alat pemaksa,selain hukuman juga untuk menaati ketetapan yang ditentukan dalam peraturan  atau perjanjian. Sanksi juga diartikan sebagai alat pemaksa sebagai hukuman jika tidak taat kepada perjanjian. Menurut Philipus M. Hadjon, sanksi merupakan alat kekuasan yang bersifat hukum publik yang digunakan oleh penguasa sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan pada norma hukum admininstrasi. Dengan demikian unsur-unsur sanksi adalah sebagai berikut :
a.       Sebagai alat kekuasaan
b.      Bersifat hukum publik
c.       Digunakan oleh penguasa
d.      Sebagai reaksi terhadap ketidakpatuhan
Sanksi-sanksi merupakan bagian penutup yang penting dalam hukum dan tiap aturan hukum yang berlaku di Indonesia selalu ada sanksi pada akhir aturan hukum tersebut.Pembebanan sanksi di Indonesia tidak hanya terdapat di dalam bentuk Undang-Undang tetapi bisa dalam bentuk peraturan lain, seperti keputusan menteri ataupun bentuk lain dibawah Undang-Undang.Pencantuman sanksi dalam berbagai aturan hukum tersebut seperti merupakan kewajiban yang harus dicantumkan dalam setiap aturan hukum. Seakan-akan aturan hukum yang bersangkutan tidak bergigi atau tidak dapat ditegakkan atau tidak akan dipatuhi jika pada bagian akhir tidak mencantumkan sanksi. Tidak ada gunanya memberlakukan kaidah-kaidah hukum manakalah kaidah-kaidah itu tidak dapat dipaksakan melalui sanksi dan menegakkan kaidah-kaidah yang dimaksud secara prosedural (hukum acara).Sanksi ini selalu ada pada aturan-aturan hukum yang dikualifikasikan sebagai aturan hukum yang memaksa.Ketidaktaatan atau pelanggaran terhadap suatu kewajiban yang mencantum dalam aturan hukum mengakibatkan terjadinya ketidakteraturan yang sebenarnya tidak diinginkan oleh aturan hukum yang bersangkutan.Hal ini sesuai dengan fungsi sanksi yang dipakai untuk penegakkan hukum terhadap ketentuan-ketentuan yang biasanya berisi suatu larangan atau yang kewajiban.
Hakikat sanksi sebagai suatu paksaan berdasarkan hukum, juga untuk memberikan penyadaran kepada pihak yang melanggarnnya, bahwa suatu tindakan yang dilakukan telah tidak sesuai dengan aturan hukum yang berlaku, juga untuk menjaga keseimbangan berjalannya suatu aturan hukum.
2.      PENGENAAN UANG PAKSA (DWANGSOM) DALAM SANKSI ADMINISTRASI
Dalam perkara perdata sering kita jumpai istilah dwangsom, istilah ini terasa asing bagi orang-orang yang baru mempelajari ilmu hukum, sedangkan bagi orang yang sudah lama berkecimpung dalam praktek peradilan istilah ini sebagai hal biasa yang dapat kita jumpai sehari-hari.Meskipun demikian penerapan hukum terhadap dwangsom masih beragam disebabkan oleh berbagai latar belakang profesi, sehingga pemahaman terhadap istilah ini perlu kita kaji secara mendalam bagi pelaksanaan tugas yang lebih baik.
Menurut N. E. Algra, “dwangsom , straf of poenalitiet, bedragdat, krachtens beding in een verbintenis, verschulddigd is bij niet-nakoming, niet vollidige of niet-tijdige nakoming, c.q. on derscheiden van de verggoeding van kosten, schaden en interessen (uang paksa , sebagai hukuman atau denda, jumlahnya berdasarkan syarat dalm perjanjian, yang harus sibayar karena tidak menuanaikan, dalam hal ini berbeda dengan biaya ganti kerugian, kerusakan dan pembayaran bunga).Dalam hukum administrasi, pengenaan uang paksa ini dapat dikenakan kepada seseorang atau warga Negara yang tidak mematuhi atau melanggar ketentuan yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai alternatif dari tindakan paksaan pemerintah. Dalam Undang-Undang administrasi belanda disebutkan sebagai berikut :

Terjemahan kedalam bahasa Indonesia :
“organ pemerintah yang berwenang melaksankan tindakan pemerintah, dapat mengenakan uang paksa sebagai pengganti (dari bestuursdwang). Uang paksa tidak dapat dipilih (sebagai pengganti), jika kepentingan yang harus dilindungi pertauran tersebut tidak menghendakinya.”
“organ pemerintah menetapkan uang paksa itu apakah sekali bayar ataupun dicicil berdasarkan waktu (tetentu) ketika perintah itu tidak dijalankan atau (membayar) sejumlah uang ketika pelanggaran itu (terjadi). Organ pemerintah juga menetapkan jumlah maksimal uang paksa.Jumlah uang yang dibayar harus sesuai dengan beratnya kepentingan yang dilanggar dan sesuai dengan tujuan diterapkannya penetapan uang paksa itu.”
“Dalam keputusan untuk penetapan uang paksa yang tujuannya menghilangkan atau mengakhiri pelanggran, kepada pelanggar diberikan jangka waktu untuk melaksanakan perintah tersebut (dengan) tanpa penyitaan uang paksa.”
Pengenaan uang paksa merupakan alternatif untuk tindakan nyata, yang berarti sebagai sanksi “subsidiaire” dan dianggap sebagai sanksi repartoir. Persoalan hukum yang dihadapai dalam pengenaan dwangsom sama dengan pelaksanaan paksaan nyata. Dalam kaitannya dengan KTUN yang menguntungkan seperti izin, biasanya pemohon izin diisyaratkan untuk memberikan uang jaminan.Jika terjadi pelanggaran atau pelanggar (pemegang izin) tidak segera mengakhirinya, uang jaminan itu dipotong sebagai dwangsom.Uang jaminanini lebih banyak digunakan ketika pelaksanaan bestuursdwang sulit dilakukan.

2.1.Uang paksa (dwangsom) dalam hukum acara perdata
Dwangsom berasal dari bahasa Belanda yang berarti uang paksa. Penerapan dwangsom (uang paksa) dalam hukum acara perdata berkaitan dengan amar putusan yang mesti dilaksanakan oleh pihak yang kalah dalam sengketa perdata terhadap  putusan yang  sudah mempunyai kekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde).
Pasal 606a Rv.menentukan: Sepanjang suatu keputusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada pembayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan,bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak memenuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam keputusan hakim, dan uang tersebut dinamakan uang paksa. Penerapan dwangsom dalam praktek tidak semudah seperti dalam bayangan.Tidak sedikit dalam gugatan perkara perdata pihak penggugat dalam gugatan konpensi atau tergugat/penggugat rekonpensi dalam gugatan rekonpensi juga mengajukan permohonan dwangsom.Dwangsom (uang paksa) pada hakekatnya hanya bisa dijatuhkan oleh Hakim apabila amar putusan tersebut berhubungan dengan perbuatan tertentu yang hanya bisa dilakukan oleh tergugat. Tanpa perbuatan tergugat maka  putusan tersebut tidak akan bisa dilaksanakan. Kita bisa menganalisis bahwa dalam dwangsom (uang paksa)  ada kata paksa, berarti ada suatu perbuatan  yang dipaksa mesti dilakukan oleh pihak yang kalah (tergugat) dan apabila pihak yang kalah  tidak bersedia melakukan  amar putusan maka diancam dengan membayar sejumlah uang yang ditetapkan dalam putusan Hakim.
Dwangsom berkaitan dengan perbuatan tertentu yang hanya bisa dilaksanakan oleh orang tertentu (Tergugat). Misalnya ada perajin arca dari batu  di daerah tertentu yang ahli membuat arca Arjuna. Yang bisa membuat arca Arjuna sesuai dengan perjanjian yang disepakati antara Penggugat dan  Mr. X (Tergugat), maka apabila Mr. X tidak bersedia  membuat arca sebagaimana yang sudah disepakati dan diputus oleh Hakim maka Mr.  X tersebut dihukum untuk membayar yang paksa (dwangsom). Jumlah uang paksa yang harus dibayar oleh tergugat tergantung putusan Majelis Hakim dan biasanya dijatuhkan dengan menggunakan  nilai tertentu (nilai uang rupiah)  diperhitungkan dan ditentukan tiap harinya apabila  tidak melaksanakan amar putusan tersebut. P.A.Stein memberikan pengertian tentang dwangsom sebagai berikut: uang paksa adalah sejumlah uang yang ditetapkan di dalam putusan, hukuman mana diserahkan kepada penggugat, di dalam hal, sepanjang atau sewaktu-waktu si terhukum tidak melaksanakan hukuman. Dwangsom ditetapkan di dalam suatu jumlah uang, baik berupa sejumlah uang sekaligus, maupun setiap suatu jangka waktu atau setiap pelanggaran. (Harifin A. Tumpa, 2010: 18).

2.2.   Uang paksa (dwangsom) tidak berlaku dalam perjanjian hutang piutang
Dalam  perkara perdata gugatan di pengadilan sering kita jumpai Penggugat dalam surat gugatannya mengajukan petitum yang memuat  (permohonan) agar tergugat dihukum untuk membayar dwangsom,  padahal pokok gugatan adalah sengketa  hutang piutang. Kita ketahui bersama bahwa perjanjian hutang piutang adalah berkaitan dengan masalah pembayaran sejumlah uang. Apabila salah satu pihak  ingkar janji (wanprestasi)  maka yang bersangkutan dihukum untuk membayar pokok hutangnya, biaya, ganti kerugian dan bunga. Umpama  dalam suatu kasus ada perjanjian pinjam meminjam uang antara penggugat (kreditur) dengan tergugat (debitur) senilai Rp. 240.000.000,- (dua ratus empat puluh juta rupiah),  jatuh tempo pembayaran selama dua tahun, bunga 2% perbulan. Dalam kasus demikian maka apabila  Hakim mengabulkan gugatan penggugat dengan alasan adanya wanprestasi dari tergugat, maka Hakim dapat memerintahkan  agar tergugat dihukum membayar utang pokok sebesar Rp. 240 juta,  maka dalam kasus demikian tergugat tidak bisa dihukum untuk membayar  dwangsom. Mengapa hal demikian terjadi? Untuk itu  kita perlu meneliti kembali dalam Kitab Undang Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), khususnya dalam Buku Ketiga tentang Perikatan. Pasal 1236 KUHPerdata menentukan Si berutang adalah wajib memberikan ganti biaya, rugi dan bunga kepada si berpiutang, apabila ia telah membawa dirinya dalam keadaan tak mampu untuk menyerahkan kebendaannya, atau telah tidak merawat sepatutnya guna menyelamatkannya.Pasal 1236 BW tersebut menentukan bahwa bagi siapa yang tidak melaksanakan kewajibannya (wanprestasi) maka dihukum untuk memberikan ganti biaya, ganti rugi dan bunga. Maka apabila ada subyek hukum yang melakukan wanprestasi yang berkaitan dengan pembayaran sejumlah uang dan ancamannya dengan menggunakan pasal 1236 BW di muka.Mengapa hal demikian terjadi? Hal tersebut terjadi disebabkan  putusan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap sesuai dengan hukum acara perdata maka pelaksanaannya bisa dilakukan dengan upaya paksa, kalau perlu dengan bantuan polisi. Hal demikian berkaitan  dengan sita jaminan (conservatoir beslag),  sita jaminan dimaksudkan agar apabila tergugat tidak bersedia melaksanakan isi putusan maka ada jaminan bagi terlaksananya isi putusan bagi pihak yang menang dalam kasus tertentu. Eksekusi pembayaran sejumlah uang adalah dengan pelaksanaaan lelang atas barang yang telah diletakkan sita eksekusi oleh KPN untuk dijual kepada umum melalui Kantor Lelang, hasil lelang  diserahkan kepada Penggugat. Apabila ada uang sisa dari hasil lelang tersebut maka akan dikembalikan kepada tergugat
Selanjutnya mengapa terhadap perjanjian hutang piutang tidak bisa dijatuhkan dwangsom?Hal ini terjadi disebabkan apabila tergugat tidak mau melaksanakan pembayaran atau tidak bersedia melaksanakan isi putusan maka tergugat bisa diancam dengan putusan tentang ganti kerugian, biaya dan bunga. Ganti rugi, biaya dan bunga ini akan diperhitungkan dengan harta yang telah dilelang oleh Pengadilan Negeri. Hal di muka sesuai dengan Jurisprudensi Mahkamah Agung R.I. No. 792/Sip/1972 tanggal 26-2-1973 yang menentukan bahwa uang paksa (dwangsom) tidak berlaku terhadap tindakan membayar uang. Hal ini sesuai pula dengan  Putusan Mahkamah Agung Nomor 2331K/Pdt/2008 tanggal 23 Juli 2009.

2.3.   Uang paksa (dwangsom) tidak berlaku bagi sengketa perbuatan melawan hukum
Sengketa atas dasar perbuatan melawan hukum (PMH) sering terjadi dalam praktek peradilan seiiring dengan perkembangan hubungan hukum  antar subyek hukum. PMH terjadi karena adanya perbuatan yang dilakukan oleh subyek hukum tertentu sehingga menimbulkan kerugian kepada pihak  lain. Di dalam PMH ada perbuatan yang dianggap salah atau lalai sehingga menimbulkan kerugian pada subyek hukum lain. Dalam PMH antara subyek hukum yang satu dengan yang lainnya sebelumnya biasanya tidak ada hubungan hukum, muncul hubungan hukum karena adanya kejadian yang tidak diinginkan oleh kedua belah pihak atau oleh salah satu pihak. Misalnya ada subyek hukum yang tanpa sengaja membangun rumah ternyata memasuki tanah subyek hukum yang lain.
Pasal 1367 BW yang menentukan
Setiap orang tidak saja bertanggung jawab untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya atau disebabkan oleh barang-barang yang berada di bawah pengawasannya.
Orang tua dan wali bertanggung jawab tentang kerugian, yang disebabkan oleh anak-anak belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap siapa mereka melakukan kekuasaan orang tua atau wali.
Majikan-majikan mereka yang mengangkat orang-orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka, adalah bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh pelayan-pelayan atau bawahan-bawahan mereka di dalam melakukan pekerjaan  untuk mana orang-orang ini dipakainya.
Guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang bertanggung jawab tentang kerugian yang diterbitkan oleh murid-murid dan tukang-tukang mereka selama waktu orang-orang ini berada di bawah pengawasan mereka.
Tanggung jawab yang disebutkan di atas berakhir, jika orang tua-orang tua, wali-wali, guru-guru sekolah dan kepala-kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka tidak dapat mencegah perbuatan untuk mana mereka seharusnya bertanggung jawab.
PMH dengan jelas  kita jumpai di dalam Pasal 1365 Kitab Unda-undang Hukum Perdata ditentukan:
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada seorang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan  kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.
Pasal 1365 BW di muka menunjukkan bahwa hubungan hukum antara dua subyek hukum atau lebih tidak diperjanjikan, tetapi muncul setelah ada perbuatan yang menimbulkan kerugian kepada orang lain. Di dalam pasal di muka mengatur tentang kewajiban pembayaran ganti kerugian apabila ada kesalahan.
Selanjutnya Pasal 1366 BW menentukan:
Setiap orang bertanggung jawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan kelalaiannya atau kurang hati-hatinya.
Terhadap pelaksanaan pembayaran ganti kerugian tersebut tidak bisa dikenakan dengan uang paksa (dwangsom), sebab pasal di muka hemat penulis berkaitan dengan masalah perikatan, yang dapat dilakukan penuntutan dengan upaya sita jaminan dan/atau  eksekusi pelelangan terhadap harta tergugat. Sita jaminan ditujukan pada harta bergerak dari tergugat apabila tidak ada atau tidak cukup baru terhadap harta yang tidak bergerak.
Dalam praktek perkara perdata gugatan sering kita lihat Penggugat mengajukan  petitum dwangsom tanpa melihat jenis gugatan yang diajukan. Dalil dalam gugatan hutang piutang dalam petitum dimohonkan dwangsom, bahkan dalam perkara perdata gugatan tentang PMH, warisan dan sebagainya. Hal demikian sepenuhnya hak dari Penggugat, maka perlu kecermatan dari kita  agar tidak salah dalam menerapkan putusan  masalah dwangsom.
Sebagaimana telah dibahas di muka bahwa dwangsom hanya dapat diputuskan terhadap suatu penghukuman untuk melaksanakan perbuatan tertentu, oleh pihak tertentu (pihak yang kalah) dengan ancaman membayar sejumlah uang apabila tidak dilaksanakan.Perbuatan tertentu ini hanya bisa dilakukan oleh orang tertentu, biasanya orang yang ahli (expert) dengan hasil barang tertentu yang diperjanjikan antara penggugat dan tergugat.Sehingga dalam perkara pengosongan rumah, pembayaran sejumlah uang tidak bisa dijatuhkan dwangsom, sebab perbuatan tersebut bisa dilaksanakan tanpa bantuan pihak tergugat. Beda dengan dwangsom, tergugat dipaksa dengan apapun apabila tergugat tidak bersedia melaksanakan, maka hasil dari kesepakatan antara penggugat dan tergugat juga tidak akan ada. Maka sebagai uang paksa menjadi pilihan yang tepat agar tergugat bersedia melaksanakan isi putusan tersebut.

3.      UANG PAKSA DAN CARA EMBAYARANNYA
Pelaksanakan pembayaran uang paksa agar dapat berjalan secara efektif memerlukan kerjasama antara MA, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan baik dalam bentuk Surat Keputusan Bersama atau bentuk lainnya karena mekanisme pembayarannya memerlukan kerjasama antar instansi tersebut. Menurut Penulis, mekanisme pelaksanaan pembayaran uang paksa adalah berikut :
a.       Setelah 3 bulan Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara yang telah berkekuatan hukum tetap tidak ditaati oleh Tergugat (Pejabat Tata Usaha Negara), maka Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara agar Pejabat yang bersangkutan melaksanakan isi Putusan Pengadilan (pasal 116 ayat (3) UU Nomor 9 Tahun 2004).
b.      Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara menerbitkan Penetapan yang berisi perintah kepada Tergugat untuk melaksanakan isi Putusan Pengadilan dengan disertai limit waktu (batas waktu) untuk melaksanakannya, missal dalam waktu 7 hari setelah penetapan diterbitkan.
c.       Penetapan Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara tersebut dengan disertai salinan Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap dikirimkan oleh jurusita kepada Tergugat, dan salinannya ditembuskan kepada atasan Tergugat, bendaharawan rutin instansi Tergugat dan Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) setempat.
d.      Segera setelah menerima Penetapan Ketua Pengadilan tentang besamya uang paksa dan lampiran Putusan Pengadilan yang berkekuatan hukum tetap tersebut, Bendaharawan rutin mengajukan Surat Permintaan Pembayaran (SPP) gaji Tergugat yang telah disesuaikan dengan besarnya uang paksa yang dibebankan kepada Pejabat (Tergugat) yang bersangkutan untuk permintaan gaji bulan berikutnya.
e.       KPKN menerbitkan Surat Perintah Membayar (SPM) yang ditujukan kepada Penggugat melalui Pengadilan Tata Usaha Negara setempat.
f.        Dengan SPM tersebut Jurusita Pengadilan Tata Usaha Negara setempat mencairkan uang paksa pada Bank yang telah ditunjuk. 7. Selambat-lambatnya dalam waktu 7 hari setelah uang dicairkan, Jurisita sudah harus menyerahkan pembayaran uang paksa tersebut kepada Penggugat atau ahli warisnya.

4.      PENERAPAN UANG PAKSA DALAM PUTUSAN PERADILAN HAKIM TATA USAHA NEGARA (PTUN)
Suatu perkembangan baru, adalah bahwa pembuat undang-undang memberi alternative kepada badan yang berwenang melakukan bestuursdwang untuk mengenakan uang paksa pada yang berkepntingan sebagai pengganti bestuursdwang, uang akan hilang untuk tiap kali suatu pelanggaran diulangi atau untuk tiap hari  ia (sesudah waktu yang ditetapkan) masih berlanjut. Uang paksa terutama dimaksudkan untuk keadaan-keadaan yang terhadapnya bestuursdwang secara praktis sulit dijalankan atau akan berlaku sebagai suatu sanksi yang terlalu berat. Pada masa yang akan dating , undang-undang dalam semua hal akan mengaitkan upaya alternative ini pada kewenangan bestuursdwang.
Dari yurisprudensi pertama ternyata bahwa hakim (tata usaha Negara) pada siapa dapat diajukan banding terhadap keputusan pengenaan uang paksa terhadap penggunaan upaya (banding) ini, menetapkan batas-batas yang tegas guna menghalangi penyalahgunaan dana sikap penggempangan para pihak tata usaha Negara.
4.1.Factor-faktor penyebab tidak dipatuhinya putusan hakim PTUN berupa uang paksa.
Kalangan Peradilan Tata Usaha Negara seharusnya tidak buru-buru secara sepihak menyalahkan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang tidak mematuhi / melaksanakan putusan PTUN tersebut.Karena sebenarnya ada beberapa faktor yang menjadikan Putusan Hakim PTUN tidak dipatuhi.
Setidaknya ada tiga faktor penyebab tidak dpatuhinya putusan peradilan TUN, yaitu :
a.       Lemah/ tidak berkualitas putusan Hakim Peratun itu sendiri.
b.      Tingkat kesadaran hukum Badan/ Pejabat TUN dan adanya kepentingan para Badan/ Pejabat TUN terhadap produk keputusan TUN yang disengketakan.
c.       Ketiadaan lembaga paksa dalam peratun perundang-undangan Peratun yang mengatur tentang eksekusi.

4.2.Perbedaan uang paksa (dwangsom) dang ganti rugi
Ganti rugi dan dwangsom meskipun sama-sama menyangkut pembayaran sejumlah uang, tetapi merupakan dua hal yang berbeda.
Ganti rugi dalam UU No. 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara diatur dalam pasal 53 ayat (1) dan Pasal 97 ayat (10). Sementara itu uang paksa (dwangsom) tidak diatur dalam undang-undang tersebut.
Ganti rugi adalah merupakan jenis hukuman pokok yang dibebankan kepada pihak yang terbukti melakukan perbuatan hukum (onrechmatige) atau melakukan ingkar janji (wanprestasi).Dan beban pembayaran tersebut apabila telah diputuskan dalam amar putusan hakim, maka jumlah tersebut harus dipenuhi oleh si Terhukum.
Dwangsom adalah sejumlah uang yang ditetapkan oleh hakim dalam amar putusan yang dibebankan kepada tergugat dan diberlakukan apabila tergugat tidak melaksanakan hukuman yang ditetapkan.
Jadi, dwangsom ia bukan termasuk hukum pokok, karena meskipun telah ditetapkan sejumlah uang paksa dalam amar putusan, maka pihak yang kalah tadi tidak perlu membayarnya/ dibebani pembayaran uang paksa tersebut apabila ia telah dengan sadar/ rela mematuhi isi amar putusan. Kewajiban dwangsom harus dipenuhi/ dibayar manakala pihak yang kalah tadi tidak mematuhi isi putusan (yang bersifat condemnatoir).Inilah perbedaan utama Ganti Rugi dan dwangsom.
Dwangsom sifatnya adalah assesoir, artinya hukuman tambahan sebagai penjaga dan bisa sekaligus sebagai pemaksa agar putusan hakim dipatuhi/ dilaksanakan.Jadi uang paksa adalah merupakan suatu alat eksekusi secara tidak langsung.

4.3.Menerapkan uang paksa (dwangsom) di peradilan TUN
Seperti halnya penerapan dwangsom dalam putusan Hakim Peradilan Umum, maka tidak semua putusan Hakim Peratun dapat diterapkan dwangsom.Hanya putusan yang berisi penghukuman / kewajiban melakukan tindakan tertentu kepada pihak yang kalah (Putusan condemnatoir), yang dapat dikenai/ diterapkan dwangsom.Jadi untuk putusan yang sifatnya declatoir (yang bersifat menerangkan) dan constitutief (putusan yang bersifat meniadakan atau menimbulkan keadaan hukum yang baru, tidak dapat dikenai/ diterapkan dwangsom.

Dalam konteks Undang-undang No. 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Putusan yang bersifat condemnatoir adalah berupa :
a.       kewajiban mencabut keputusan TUN yang dinyatakan batal/ tidak sah.
b.      kewajiban menerbitkan keputusan TUN pengganti/ baru.
c.       kewajiban mencabut dan menerbitkan keputusan TUN baru
d.      kewajiban membayar ganti rugi, dan
e.       kewajiban melaksanakan rehabilitasi, dalam sengketa kepegawaian.
Dwangsom baru diterapkan apabila pejabat yang dihukum untuk melakukan tindakan tertentu berdasarkan putusan hakim, ia tidak mematuhinya . Jadi dwangsom diterapkan (dipaksakan) kepada pejabat apabila ia melawan putusan hakim.
Ketika hakim menerbitkan suatu putusan, pada hakikatnya ia adalah berperan sebagai pseudo legislator (badan pembuat undang-undang semu), karenanya produk hakim (majelis Hakim) adalah suatu produk hukum yang setingkat dengan perundang-undangan. Oleh karenanya pada saat Pejabat TUN tidak mematuhi putusan hakim, maka ketidak patuhan tadi adalah dikategorikan pelanggaran hukum/ perundang-undangan.Dan pelanggaran yang dilakukan pejabat tadi sifatnya adalah pelanggaran/ kesalahan pribadi (faute personelle), sehingga membawa konsekuensi pertanggungjawabannya juga harus secara pribadi (personal liability) dari orang yang sedang menjabat tersebut dan bukan kelembagaan atau negara. Hal mana adalah sejalan dengan teori “kesalahan” yang dikembangkan dari Yurisprudensi Conseil d’Etat yang pada pokoknya membedakan antara “kesalahan dinas” (faute de serve) dan “kesalahan pribadi” (faute personnelle). Lihatlah Paulus Effendie Lotulung, Prof. DR. SH. Beberapa System Tentang Control Segi Hukum Terhadap Pemerintahan, PT. Bhuana Ilmu Populer, Jakarta, 1986. hal. 15).
Oleh karena itu adalah tepat apabila seorang pejabat tidak mematuhi/ melaksanakan putusan hakim peratun, maka pembebanan uang paksa (dwangsom/ astreinte) harus dibebankan / dibayar dari uang pribadi orang yang sedang menjabat/ pejabat saat itu.Sungguh tidak adil apabila orang yang sedang menjabat/ Pejabat saat itu.Sungguh tidak adil apabila pelanggaran hukum yang sifatnya pribadi tersebut akibatnya (berupa pembayaran dwangsom) dibebankan kepada Negara. Hal ini tentunya sangat berbeda dengan ketika ia sebagai pejabat dalam melaksanakan tugas yang meskipun telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan ternyata dapat menimbulkan kerugian bagi masyarakat. Dalam keadaaan seperti ini, maka kerugian yang diderita masyarakat tersebut harus menjadi tanggung jawab Negara untuk mengganti ruginya,

B.     ANALISIS
Setidaknya ada dua lembaga paksa yang telah dikenal dalam sistem hukum civil law, yakni sandera (gijzeling) dan uang paksa (dwangsom).
Berdasarkan asas konkordansi, dalam praktek peradilan perdata di Indonesia kedua lembaga paksa tersebut juga dikenal. Tetapi nampaknya dwangsom lebih “beruntung”, karena dalam praktek pemberlakuannya oleh Hakim perdata di Indonesia hampir tidak ada masalah, akan tetapi dengan saudaranya si gijzeling dengan alasan melanggar hak azasi manusia (alasan kemanusian), oleh Mahkamah Agung mulai tahun 1964 lembaga tersebut dibekukan, artinya tidak diberlakukan dalam pratek melalui SEMA No. 2/ 1964, tertanggal 22 Januari 1964 juncto SEMA No. 04/ 1975 tertanggal 1 Desember 1975 Mahkamah Agung berpendapat, bahwa sandera bertentangan dengan salah satu sila Peri kemanusian dari Pancasila sebagai dasar falsafah Negara Indonesia.
Meng-gijzeling Pejabat dalam sengketa Tata Usaha Negara untuk kultur Indonesia nampaknya belum memungkinkan, disamping memang hal itu tentunya akan sangat mengganggu tugas-tugas pelayanan publik yang dia emban. Oleh karenanya penulis memandang, lembaga paksa dwangsom (uang paksa) adalah pilihan yang tepat untuk diterapkan.
Dasar pemberlakuan/ penerapan lembaga dwangsom (uang paksa) dalam praktek peradilan di Indonesia adalah mengacu pada Pasal 606 a dan Pasal 606 b Rv.

Pasal 606 a. Rv :
“sepanjang suatu putusan hakim mengandung hukuman untuk sesuatu yang lain dari pada membayar sejumlah uang, maka dapat ditentukan bahwa sepanjang atau setiap kali terhukum tidak mematuhi hukuman tersebut, olehnya harus diserahkan sejumlah uang yang besarnya ditetapkan dalam putusan hakim dan uang tersebut dinamakan uang paksa”.
Pasal 606 b Rv :
“ bila putusan tersebut tidak dipenuhi, maka pihak lawan dari terhukum berwenang untuk melaksanakan putusan terhadap sejumlah uang paksa yang telah ditentukan tanpa terlebih dahulu memperoleh alas hak baru menurut hukum.

Dari bunyi pasal 606 a dan b Rv. tersebut maka dapat ditarik kesimpulan bahwa uang paksa adalah bersifat :
a.       Assesoir, artinya keberadaan uang paksa tergantung kepada hukuman pokok. Jadi suatu dwangsom tidak mungkin ada apabila dalam suatu putusan tidak ada hukuman pokok.
b.      pressie middle, artinya suatu upaya (secara psikologis), agar terhukum mau mematuhi atau melaksanakan hukuman pokok. Jadi uang paksa adalah merupakan suatu alat eksekusi secara tidak langsung.

Penulis melihat,karena yang dihukum untuk melaksanakan putusan Peratun adalah selalu Badan/ Pejabat TUN yang masih aktif, tentunya ia mendapatkan gaji setiap bulannya. Oleh karenanya apabila pejabat tersebut membandel untuk melaksanakan amar putusan, maka dwangsom adalah tepat diambil/ dipotongkan dari gaji bulanan pejabat yang bersangkutan. Dan perintah pemotongan gaji diperintahkan kepada Kepala Kantor Perbendaharaan dan Kas Negara (KPKN) atau Pejabat lain yang berwenang semacam itu, selanjutnya uang dwangsom tersebut diserahkan kepada Penggugat. Pemotongan ini terus berlanjut sampai dengan dipatuhinya amar putusan.
Oleh karena itu di dalam pengenaan sanksi admnistratif berupa uang paksa (dwangsom) adalah suatu yang tepat dilakukan agar para pelanggar peraturan yang telah disebutkan diatas bisa memnuhi aturannya dan juga paksaan atas uang paksa itu harus dilakukan dengan tegas dan tentunya dilakukan dengan sungguh-sungguh, jangan hanya sebatas peraturan tetapi penerapnnya dan pelaksanaannya terhadap pelangggarnya sangat minim.Karena peraturan dibuat untuk dilaksankan sebagai sanksi terhadap pelanggaranya dan untuk dipatuhi oleh semua kalangan yang dicakup oleh peraturan itu.
















BAB III
PENUTUP

A.     KESIMPULAN
1.      Dwangsom hanya bisa diterapkan terhadap perintah melakanakan perbuatan tertentu yang dilakukan oleh orang tertentu dan tidak bisa diganti/diwakili orang lain.
2.      Penerapan dwangsom tidak dapat diterapkan pada semua putusan PTUN. Penerapan dwangsom hanya dapat dibebankan pada putusan PTUN yang bersifat penghukuman (putusan condemnator).
3.      Penerapan lemabaga Upaya Paksa di Peradilan Tata Usaha Negara diharapkan dapat menimbulkan dampak psikologis kepada Badan/PejabatTata Usaha Negara untuk melaksanakan Putusan Pengadilan serta meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap eksistensi Peradilan Tata Usaha Negara
4.      Hanya Putusan yang sifatnya berisi pemberian beban atau kewajiban untuk melakukan tindakan tertentu kepada Tergugat saja yang dapat dikenakan Upaya Paksa.
5.      Beban pembayaran uang paksa sebaiknya dibebankan kepada Badan/PejabatTata Usaha Negara secara pribadi karena perbuatan tidak mau melaksanakan putusan Pengadilan tersebut tergolong dalam kesalahan pribadi bukan kesalahan dinas.
6.      Dalam pemeriksaan Persiapan sebaiknya dinasehatkan kepada Penggugat agar tidak mencantumkan Petitum Upaya paksa karena belum ada peraturan pelaksanaannya, akan tetapi apabila Penggugat tetap mencantumkan Upaya Paksa dalam gugatannya maka Hakim sebaiknya memutuskan hal tersebut sesuai dengan pasal 16 ayat (1) UU Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman.
7.      Efektivitas uang paksa (dwangsom) sebagai sanksi administrasi belum terlaksana secara maksimal, karena masih banyak yang melanggar peraturannya dan penerapan sanksinyapun kurang tegas oleh pemerintah pelaksananya.

B.     SARAN
Kaitannya dengan pembahasan dalam makalah ini, maka penulis memberikan saran sebagai berikut :

1.      Perlunya penerapan prinsip good governance sehingga pelaksanaan pemerintah akan lebih transparan, berpihak pada demokrasi dan kemakmuran rakyat. Dan konflik-konflik mengenai sengketa dan permasalahan di pengadilan tata usaha Negara, bisa lebih berkurang. Jika sudah diputus oleh pengadilan TUN, maka pelaksanaanya lebih mudah ditaati dan terselesaikan dengan kepastian hukum yang konkrit.
2.      Bagi pelaksana putusan dan eksekusi untuk menerapkan peraturan dan sanksi kepada pelanggar peraturan, terutama pengenaan sanksi administrasi berupa uang paksa dengan sungguh-sungguh, dengan tegas dan dilakukan secara maksmimal.
3.      Bagi para pelanggar sanksi administrasi agar tetap mematuhi peraturan dan ketentuan yang telah dibuat oleh pemerintah dengan baik. Baik itu dalam segi sanksinya maupun dalam bentuk peraturannya.
4.      Terakhir saya sebagai penulis makalah ini menyampaikan apabila dalam penulisan dan pembuatan di makalah ini, terdapat banyak kekurangan dan kesalahan, mohon dimaafkan dan diberikan saran.












DAFTAR PUSTAKA

1.      Dr. Habib Adjie, S.H., M. Hum. Sanksi perdata administrasi terhadap notaris sebagai pejabat publik. PT. Reflika Aditama. Bandung. 2008.

2.      Philipus M. Hadjon, dkk. Pengantar hukum admnistrasi Indonesia (introduction the Indonesian administrative law). Gadja Mada University press. Yogyakarta. 2005

3.      Harifin A. Tumpa. Memahami eksistensi uang paksa (dwangsom) dan implementasinya di Indonesia. Kencana Prenada Media Group. Jakarta. 2010

4.      Abdul kadir Muhammad. Hukum acara perdata Indonesia. PT. Citra aditya bakti. Bandung. 2000.

5.      Lilik Mulyadi, SH, MH. Tuntutan uang paksa (dwangsom) dalam teori dan praktik. Djambatan. Jakarta. 2001.

6.      Zairin Harahap. Hukum acara peradilan tata usaha Negara. PT. Raja grafindo persada. Yogyakarta. 1997

7.      Bambang Sugiono, SH.,MHum., Penerapan Upaya Paksa Dalam Pelaksanaan Putusan PTUN, Makalah Workshop, Jakarta, 28 Agustus 2004.














Tiada ulasan:

Catat Ulasan

berkomentarlah dengan bijak sahabat semua.